Ada beberapa orang yang
berpendapat, mudik lebih banyak berbau mubadzir, kesan akan pamer kekayaan di
kampung halaman, ada juga yang berpendapat bahwa mudik adalah tradisi yang
kliru dalam merayakan idul fitri. Tentu saja setiap orang berhak mengemukakan
pendapatnya, tapi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mudik adalah sebuah
sarana ibadah dalam bentuk Silaturahmi
Setiapkali Hari Raya atau
Lebaran, terminal bus, stasiun kereta dan bahkan pelabuhan dan bandara dipenuhi
oleh calon penumpang. Jalan raya pantura macet total menjelang hari lebaran.
Mau kemana mereka, dan apa sebenarnya yang mereka cari ? Yah mereka mau mudik,
mau pulang kampung. Apa yang mendorong mereka mau bersusah payah mudik lebaran
?
Pertama,
tradisi lebaran yang sudah ratusan tahun. Tradisi mempunyai kekuatan luar biasa
dalam menggerakkan aktifitas sosial. Tradisi juga menjadi benteng dari nilai-nilai
budaya.
Kedua,
tradisi mudik menjadi lebih kuat karena di dalamnya ada nuansa agama, yaitu
silaturrahmi. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu dorongan untuk
bertemu keluarga dan teman-teman lama di kampung halaman berasal dari fitrah
sosialnya. Mudik dapat menjadi bernuansa religius karena silaturrahmi memang
perintah agama.
Menurut Rasulullah, Allah SWT
akan melapangkan rezeki orang yang suka menyambung tali silaturahmi. Allah juga
akan memanjangkan umur kepadanya
Muhammad Baqir ra pernah mendapat
wasiat dari ayahnya (Imam Zainul Abidin, ra). Ia (kata Baqir) telah berwasiat
kepadaku, “Janganlah duduk bersama lima jenis manusia. Jangan berbicara kepada
mereka, bahkan jangan berjalan bersama mereka, meskipun tidak disengaja.
Pertama,
Orang Fasik. Karena ia akan menjualmu hanya untuk sesuap makanan.
Kedua,
Orang Bakhil. Karena ia akan memutuskan hubungan di saat kita kita memerlukan.
Ketiga,
Pembohong. Karena ia akan menipumu. Karena ia akan senantiasa menipumu.
Keempat,
Orang Bodoh. Karena ia berkeinginan memberikan manfaat bagimu, namun karena
kebodohannya, ia jutru merugikanmu.
Kelima,
Orang yang memutuskan tali silaturahmi. Karenanya, janganlah berdekatan
dengannya.
Memutus tali silaturahmi adalah
sesuatu yang dilarang oleh agama Islam. Dalam Q.S an-Nisa’: 1, Allah berfirman,
“Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-namaNya, kamu
saling meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.”
Dalam kitab Ahkam al-Qur’an-nya,
Ibnu al-Arabi menafsirkan ayat ini dengan: “Takutlah kepada Allah untuk berdosa
kepada-Nya dan takutlah untuk memutus tali silaturahmi”.
Dari Abdullah bin Abi Aufa r.a.
berkata, ketika sore hari pada hari Arafah, pada waktu kami duduk mengelilingi
Rasulullah saw, tiba-tiba beliau bersabda, “Jika di majelis ini ada orang
yang memutuskan silaturahmi, silahkan berdiri, jangan duduk bersama kami.”
Dan ketika itu, diantara yang hadir hanya ada satu yang berdiri, dan itupun
duduk di kejauhan. Dan dalam waktu yang tidak lama, ia kemudian duduk kembali.
Rasulullah bertanya
kepadanya,”Karena diantara yang hadir hanya kamu yang berdiri, dan kemudian
kamu datang dan duduk kembali, apa sesungguhnya yang terjadi? Ia kemudian
berkata, “Begitu mendengar sabda Engkau, saya segera menemui bibi saya yang
telah memutuskan silaturahmi dengan saya. Karena kedatangan saya tersebut, ia
berkata, “Untuk apa kamu dating, tidak seperti biasanya kamu dating kemari.”
Lalu saya menyampaikan apa yang telah Engkau sabdakan. Kemudian ia memintakan
ampunan untuk saya, dan saya meminta ampunan untuknya (setelah kami
berdamai, lalu saya datang lagi ke sini).
Lalu Rasulullah bersabda, “Kamu
telah melakukan perbuatan yang baik, duduklah, rahmat Allah tidak akan turun ke
atas suatu kaum jika di dalamnya ada orang yang memutuskan silaturahmi.”
Rasulullah pernah bersabda,”Tidak
ada satu kebaikanpun yang pahalanya lebih cepat diperoleh daripada silaturahmi,
dan tidak aka satu dosapun yang adzabnya lebih cepat diperoleh di dunia,
disamping akan diperoleh di akherat, melebihi kezaliman dan memutuskan tali
silaturahmi.”
Dalam sebuah riwayat lain, dari
Anas r.a, ia berkata bahwa Rasullah saw bersabda, “Barangsiapa yang
suka dilapangkan rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya (dipanjangkan
umurnya), hendaknya ia menyambung tali silaturahmi. [Mutafaq ‘alaih]
Ali r.a meriwayatkan dalam sebuah
hadist, “Barangsiapa yang mengambil tanggungjawab atas suatu perkara, aku akan
menjamin baginya empat perkara. Barangsiapa bersilaturahmi, umurnya akan
dipanjangkan, kawan-kawannya akan cinta kepadanya, rezekinya akan dipalangkan,
dan ia aman masuk ke dalam surga. (Kanzul ‘Ummal).
Al-Qurthubi mengatakan, “Seluruh
agama sepakat bahwa menyambung silaturahmi wajib dan memutuskannya diharamkan“.
Ibnu Abidin al-Hanafi mengatakan;”Menyambung silaturahmi wajib meskipun hanya
dengan mengucapkan salam, memberi hadiah, memberi pertolongan, duduk bareng,
ngobrol, bersikap ramah dan berbuat baik. Kalau seseorang yang hendak
disilaturahmi berada di lain tempat cukup dengan berkirim surat, namun lebih
afdol kalau ia bisa berkunjung ke tempat tinggalnya”.
Orang yang menyambung silaturahmi
akan mendapat balasan di dunia berupa: kedekatan kepada Allah, rezekinya
diluaskan, umurnya dipanjangkan, rumahnya dimakmurkan, tercegah dari mati
dengan cara tidak baik, dicintai Allah dan dicintai keluarganya.
Yang lebih penting dari itu
semua, di akhirat kelak, ia akan mendapat balasan surga dari Allah SWT:
Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku
amal yang dapat memasukkan akan ke surga”. Rasulullah menjawab; “Engkau
menyembah Allah, jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu, engkau dirikan
shalat, tunaikan zakat dan engkau menyambung silaturahmi“. (HR. Bukhari).
Dan yang terakhir, Rasulullah
pernah berkata pada sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq r.a bahwa tiga perkara
berikut ini benar adanya. Pertama, barangsiapa yang dizalimi
kemudian ia memaafkan, maka kemuliannya akan bertambah. Kedua,
barangsiapa yang meminta-minta untuk meningkatkan hartanya, maka, hartanya akan
berkurang. Ketiga, barangsiapa yang membuka pintu pemberian
dan silaturahmi, maka hartanya kan bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo dikoment