“Bagi orang yang berpuasa ada dua
kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu
dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)
‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki
hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw. Segera memanggilnya.
Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan
saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw.
Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil
mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai
penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala
kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan
betapa banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah Saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah “shaum”
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang
atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari
bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.Dari pengertian ini, terlihat
dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Tetapi dalam bahasa
Indonesia, kedua istilah itu diartikan sama.
Arti
puasa yang sebenarnya adalah menahan diri atau mengendalikan dari apa saja,
termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara.
Hal ini dapat disimak dari ucapan Maryam tatkala dirinya diberondong pertanyaan
perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih.
“
…. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku
tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)
Dalam
ayat ini, Maryam menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya,
yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun.
Sementara
itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan
hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam
matahari”.Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat
wanita yang ditegur Nabi Saw. Memang, tidak terlalu salah bila hal itu
didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya
mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata. Menurut fiqih,
puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan,
minum, dan hubungan suami istri. Dengan demikian, kewajiban puasa seseorang pun
telah tertunaikan. Namun, ini tidak memadai bila diukur dengan menggunakan
parameter Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kaum Sufi (‘urafa’) membagi puasa dalam
beberapa tingkatan.
Menurut
kaum Sufi puasa dapat dipilah dalam tiga kategori : puasa perut, puasa nafsu,
dan puasa qalbu. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih
(fuqaha). Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan
hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah,
dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al
Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.
“Dalam
khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan :
“Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak
dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk
didengar telingamu” (HR Bukhari)
Karena
itu, puasa perut tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan
menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan
dahaga saja.
“Alangkah
banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya,
selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i)
Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa
hawa nafsu. Imam Abi Thalib
menegaskan, “Puasa hawa nafsu lebih baik dari pada puasa perut”. Puasa hawa
nafsu adalah pada dasarnya adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama
fiqih, tetapi dibarengi dengan upaya mengendalikan seluruh aktivitas inderawi
dan anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah.
“Apabila
engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan
mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Al Hadits)
Dalam
sebuah riwayat, misalnya disebutkan juga, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far
ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran,
penglihatan, dan kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari
berbukamu”.
Dalam
riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa,
maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan.
Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku
yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala
pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah. Jangan jadikan hari-hari puasamu
seperti hari-hari fitrahmu”.
Puasa
hawa nafsu (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan
mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan
juga pertolongan dari Allah.
Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan
puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi
Thalib mengatakan, “Puasa qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan
perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”. Puasa qalbu jauh lebih baik dari
puasa hawa nafsu. Sementara itu, puasa hawa nafsu lebih baik daripada puasa
perut. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush
al-khushush menurut Imam Al Ghazali. Inilah gabungan puasa jenis pertama dan
puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran
yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah:
(Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277). Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal
hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah. Karena pada waktu
kita melakukan puasa qalbu atau puasa khushush al khushush saat itu kita sedang
bertemu dengan Allah.
Demikianlah
tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum Sufi. Sebuah pertanyaan menarik
segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar
mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan
ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.
“Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al
Baqarah 2 : 183)
“Bagi
orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika
berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. (HR Bukhari)
“Buatlah
perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang,
mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. (HR Bukhari)
Berdasarkan
dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat
Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat
sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul. Hal ini berarti ada persamaan antara
puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang
seperti apa? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang
berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah yang dimaksud dengan
takwa? Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat
kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya.
Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan
kita?
Kata
takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti adalah memelihara atau
menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia terus memelihara iman
yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia
tetap dalam keadaan beriman kepada Allah. Apakah iman itu ? Pada hakikatnya
iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman
ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya. Pertemuan dengan Allah itu
dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh
Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu
dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat
menggembirakan bagi para pelaku puasa.
Banyak
ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan
ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga
banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan
kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak. Padahal hadits tersebut tidak
menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti di “akhirat”. Akan tetapi justru
pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah
orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu
dengan Tuhannya.
“Berapa
banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya
selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)
Dengan
tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “
Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah
penundukan hawa nafsu. (mujahadah). Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan
Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah,
karena menyaksikan Allah adalah medan perang manusia, sementara mujahadah
adalah tempat bermain anak-anak”. Kemudian Al Hujwiri menceritakan bahwa
dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau
untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : “Tahanlah lidahmu dan
indera-inderamu”.
Menurut
Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua
pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran,
pengecapan, penciuman dan perabaan. Empat dari indera-indera itu mempunyai
suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke
seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini,
kecuali pengetahuan intuitif dan Ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat
kesucian dan ketidaksucian. Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal
dan ruh, demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang
merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan
dalam kebahagiaan dan penderitaan. Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa diharapkan
untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka bisa berpaling dari
ketidaktaatan kepada ketaatan. Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah
permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang
tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang
halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo dikoment