Sebelum berbicara
mengenai karakteristik mushalli yang disebutkan di dalam al Qur’an, sebaiknya
kita melihat terlebih dahulu term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan
orang yang shalat dan term yang menunjukkan perintah shalat.
Di dalam al Qur’an
akan ditemukan –setidaknya- dua term atau ungkapan yang terkait dengan shalat.
Pertama, ketika al Qur’an memerintahkan shalat atau memuji orang yang melakukan
shalat, hampir semua ungkapan itu disertai dengan kata iqamah “mendirikan”
atau kata-kata yang terbentuk darinya.
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
“Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” (QS. Al
Baqarah; 43). Atau pada ayat lain ;
من ءامن بالله
واليوم الآخر وأقام الصلاة وءاتى الزكاة
“ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikn shalat dan menunaikan zakat”.
Sebenarnya ada beberapa ayat yang memuji orang yang melakukan
shalat namun tidak menggunakan kata iqamah. Misalnya pada firman
Allah SWT : الا المصلين “kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat” (Qs. Al
Ma’arij; 22). Ayat ini berbicara mengenai sifat dan keadaan manusia yang
memiliki sifat هلوع atau سرعة الجزع “cepat berkeluh-kesah”. Ketika mendapatkan
keburukan dan kebaikan selalu ada respon negatif. Tetapi ada di antara manusia
yang dikecualikan oleh Allah yaitu orang-orang yang shalat. Akan tetapi
sekalipun pujian tersebut hanya menggunakan kata shalat yang tidak disertai
dengan اقام
dan semacamnya, tetapi lanjutan ayat tersebut menjelaskan mushalli yang
dimaksud yaitu
الذين هم على صلاتهم دائمون
“yaitu mereka yang konsisten terhadap
shalatnya”.
Oleh sebagian ulama termasuk di antaranya Imam al Razi
menjelaskan bahwa makna kata دوام adalah tidak meninggalkan shalat, dan memelihara shalatnya
dengan melaksanakannya sesuai dengan aturan-aturannya serta mendirikan shalat
dalam segala aspek.
Kedua, term yang dipergunakan al Qur’an adalah kata الصلاة itu
sendiri dan kata yang terbentuk darinya tanpa ada kata yang bermakna
“mendirikan”. Hanya saja perlu dipahami bahwa ketika al Qur’an menyebutkan
pelaku shalat hanya dengan menggunakan term صلى maka itu berarti celaan bagi orang-orang
yang mengerjakan shalat karena lalai di dalamnya atau tidak memaknai shalat
dengan makna yang sebenarnya, sehingga al Qur’an menganggapnya tidak
mendirikan shalat. Sebagai contoh ayat yang berbicara tentang orang-orang
munafiq atau orang-orang yang mendustakan agama; فويل
للمصلين “Sungguh
celaka bagi orang-orang yang shalat”.(QS. Al Ma’un ; 4)
Demikian dua term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan
orang yang melakukan shalat, atau dalam istilah yang lain orang yang mendirikan
shalat dan orang yang melaksanakan shalat. Ragib al Asfahani menjelaskan maksud
kata اقامة
“mendirikan” adalah menyempurnakan syarat dan hak-haknya bukan sekedar
melaksanakan gerakan-gerakannya. Olehnya itu muncul sebuah ungkapan
ان المصلين كثير والمقيمين لها قليل
“banyak orang yang melaksanakan shalat namun hanya sedikit yang
mendirikannya”.
Dari sini diketahui bahwa perintah shalat bukan hanya sekedar
melakukan gerakannya saja, melainkan lebih dari itu. Benar, shalat adalah
gerakan badan dan bacaan yang tertentu terdiri dari berdiri, duduk, ruku’,
sujud, tasbih, tahmid dan sebagainya, tetapi yang mendatangkan pahala adalah
yang mendirikan shalat disertai dengan kehadiran hati di dalamnya. Hal ini
pulalah yang membedakan antara orang-orang melakukan shalat. Walaupun zhahirnya
gerakan-gerakan dan waktunya sama tetapi ia akan berbeda dan bertingkat-tingkat
di dalam menghadirkan hati dan kekhusyu’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo dikoment