Senin, 06 Agustus 2012

Karakteristik Pelaku Shalat (Mushalli)

Sebelum berbicara mengenai karakteristik mushalli yang disebutkan di dalam al Qur’an, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan orang yang shalat dan term yang menunjukkan perintah shalat.
Di dalam al Qur’an akan ditemukan –setidaknya- dua term atau ungkapan yang terkait dengan shalat. Pertama, ketika al Qur’an memerintahkan shalat atau memuji orang yang melakukan shalat, hampir semua ungkapan itu disertai dengan kata iqamah “mendirikan” atau kata-kata yang terbentuk darinya. 
Sebagai contoh firman Allah SWT :
وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين  
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah; 43). Atau pada ayat lain ; 
من ءامن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وءاتى الزكاة   
“ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikn shalat dan menunaikan zakat”.
Sebenarnya ada beberapa ayat yang memuji orang yang melakukan shalat namun tidak menggunakan kata iqamah. Misalnya pada firman Allah SWT : الا المصلينkecuali orang-orang yang melaksanakan shalat” (Qs. Al Ma’arij; 22). Ayat ini berbicara mengenai sifat dan keadaan manusia yang memiliki sifat هلوع atau سرعة الجزع “cepat berkeluh-kesah”. Ketika mendapatkan keburukan dan kebaikan selalu ada respon negatif. Tetapi ada di antara manusia yang dikecualikan oleh Allah yaitu orang-orang yang shalat. Akan tetapi sekalipun pujian tersebut hanya menggunakan kata shalat yang tidak disertai dengan اقام dan semacamnya, tetapi lanjutan ayat tersebut menjelaskan mushalli yang dimaksud yaitu 
الذين هم على صلاتهم دائمون
 yaitu mereka yang konsisten terhadap shalatnya”. 
Oleh sebagian ulama termasuk di antaranya Imam al Razi menjelaskan bahwa makna kata دوام adalah tidak meninggalkan shalat, dan memelihara shalatnya dengan melaksanakannya sesuai dengan aturan-aturannya serta mendirikan shalat dalam segala aspek.
Kedua, term yang dipergunakan al Qur’an adalah kata الصلاة itu sendiri dan kata yang terbentuk darinya tanpa ada kata yang bermakna “mendirikan”. Hanya saja perlu dipahami bahwa ketika al Qur’an menyebutkan pelaku shalat hanya dengan menggunakan term صلى maka itu berarti celaan bagi orang-orang yang mengerjakan shalat karena lalai di dalamnya atau tidak memaknai shalat dengan makna yang sebenarnya, sehingga al Qur’an menganggapnya tidak mendirikan shalat. Sebagai contoh ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq atau orang-orang yang mendustakan agama; فويل للمصلين “Sungguh celaka bagi orang-orang yang shalat”.(QS. Al Ma’un ; 4)
Demikian dua term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan orang yang melakukan shalat, atau dalam istilah yang lain orang yang mendirikan shalat dan orang yang melaksanakan shalat. Ragib al Asfahani menjelaskan maksud kata اقامةmendirikan” adalah menyempurnakan syarat dan hak-haknya bukan sekedar melaksanakan gerakan-gerakannya. Olehnya itu muncul sebuah ungkapan 
ان المصلين كثير والمقيمين لها قليل 
banyak orang yang melaksanakan shalat namun hanya sedikit yang mendirikannya”.
Dari sini diketahui bahwa perintah shalat bukan hanya sekedar melakukan gerakannya saja, melainkan lebih dari itu. Benar, shalat adalah gerakan badan dan bacaan yang tertentu terdiri dari berdiri, duduk, ruku’, sujud, tasbih, tahmid dan sebagainya, tetapi yang mendatangkan pahala adalah yang mendirikan shalat disertai dengan kehadiran hati di dalamnya. Hal ini pulalah yang membedakan antara orang-orang melakukan shalat. Walaupun zhahirnya gerakan-gerakan dan waktunya sama tetapi ia akan berbeda dan bertingkat-tingkat di dalam menghadirkan hati dan kekhusyu’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment