Puasa, secara etimologi
(pengertian kebahasaan) berasal dari kata “shâma-yashûmu-shauman/shiyâman”
yang artinya adalah “menahan, mengekang atau mengendalikan”. Kata menahan atau
mengekang disini berarti “al-imsâk ‘anil mufthirât” yakni menahan diri
dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, melakukan
hubungan suami isteri di siang hari dan lain sebagainya.
Secara terminologi (pengertian
secara istilah), puasa menurut ulama fikih adalah menahan diri untuk tidak
makan dan minum serta melakukan hubungan seksual bagi yang berkeluarga sejak
terbit fajar hingga terbenam matahari. Sementara para ulama tasawuf
mendefinisikan puasa tidak hanya bersifat lahirian semata, tapi juga batiniah.
Menurut ulama tasawuf, puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum,
tapi juga menahan seluruh anggota tubuh, bahkan hati dan pikiran, untuk tidak
melakukan hal-hal yang dapat mendorong pelakunya ke dalam lembah dosa.
Tingkatan Puasa
Ulama tasawuf membagi puasa ke
dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum (awam), yakni menahan diri dari makan
dan minum, dan seks untuk periode tertentu, yakni sejak terbit fajar sampai
tenggelam matahari. Pada puasa tingkat ini, penekanan puasa pada pengendalian
hal-hal yang berkenaan dengan perut dan syahwat (nafsu biologis). Inilah puasa
orang awam.
Kedua, puasa khusus. Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali menyatakan
bahwa puasa khusus ialah mengekang pendengaran, penglihatan, lidah, tangan,
kaki, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa. Karena itu, puasa khusus
adalah puasa mata, telinga, lisan, tangan,kaki, dan seluruh anggota badan, dari
penglihatan, pendengaran, prekataan, gerakan yang tidak diridhai Allah. Dalam
sebuah hadits dinyatakan bahwa seorang yang berpuasa sesungguhnya telah berbuka
apabila ia berkata dusta, ber-ghibah (menggunjing), mengadu domba, bersumpah
palsu, dan memandang dengan syahwat.
Ketiga, puasa khususul khusus (puasa sangat khusus), yakni puasanya hati dan
pikiran. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa puasa khususul khusus adalah puasanya
hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi yang bisa
menghalangi dari ingat kepada Allah.
Pada tingkatan ini, seluruh
pikiran ditujukan untuk Allah semata. Dunia tidak dipikirkan, kecuali demi
kepentingan syiar Islam. Pendek kata, puasa khususul khusus adalah puasa hati
dari keinginan rendah, memikirkan duniawi dan tercegahnya dari selain Allah Swt
secara universal.
Dalam sebuah ayat dinyatakan bahwa tujuan dari ibadah puasa adalah agar kita
menjadi orang yang bertakwa. Firman Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa,” (QS al-baqarah [2]: 183).
Menjadi orang yang bertakwa
dengan melakoni ibadah puasa tidak akan terwujud jika puasa kita hanya sebatas
menahan diri dari lapar, haus, dan syahwat, tanpa diiringi dengan mengendalikan
seluruh anggota tubuh, baik tangan, mata, lisan, pendengaran, penciuman, dan
lain sebagainya dari hal-hal yang dilarang atau dibenci Allah.
Dalam sebuah hadits Rasulullah
Saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan
dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga,” (HR. Nasa’i & Ibnu Majah).
Hadits ini memberi peringatan bahwa orang yang berpuasa, tapi tidak menahan
diri dari perbuatan munkar, tidak akan mendapat pahala dari ibadah puasa,
apalagi memperoleh kedudukan sebagai orang yang bertakwa. Karena itu, dalam
berpuasa hendaknya tidak hanya menahan diri dari makan dan minuman, tapi juga
seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang tidak diridhai Allah agar menjadi orang
yang bertakwa.
Puasa Mengendalikan Amarah
Meskipun tujuan utama dari puasa
adalah untuk menjadi (to become) orang yang bertakwa (bersifat vertikal), namun
puasa bisa memberikan pengaruh yang siginifikan dalam kehidupan sosial,
terutama dalam membangun masyarakat ketenteraman masyarakat dengan minimalisasi
konflik.
Dalam teori konflik (conflict
theory) disebutkan bahwa konflik di masyarakat timbul jika ada ketimpangan.
Ketimpangan berarti adanya kondisi ketidakseimbangan atau berat sebelah (non
balance) yang dapat mengakibatkan kegoncangan atau gejolak sosial. Menurut para
sosiolog, ketimpangan inilah yang merupakan sumber dari segala macam konflik.
Ketimpangan dalam masyarakat
adalah hal yang alami, misalnya ada miskin dan kaya. Meskipun ketimpangan ini
ada pada setiap komunitas, namun bukan berarti potensi konflik tersebut tidak
dapat dihilangkan atau paling tidak dapat diminimalisir. Pendekatan agama bisa
dipakai sebagai upaya untuk meminimalisasi atau menghilangkan potensi konflik
di masyarakat. Di antara sekian perintah agama yang dapat menghilangkan potensi
konflik di masyarakat adalah puasa.
Puasa tidak sekedar mengendalikan
diri dari makan dan minum serta berhubungan seksual, akan tetapi lebih jauh
dari itu adalah bagaimana kita dapat mengendalikan diri kita dari emosi dan
perbuatan negatif seperti marah, berkata buruk, berdusta, dengki, iri hati,
menggunjing, mencari-cari kesalahan orang lain.
Bentuk-bentuk emosi dan perbuatan
negatif ini rentan menimbulkan berbagai konflik di tengah manusia. Namun,
secara garis besar, potensi konflik di tengah masyarakat disebabkan ketidakmampuan
dalam mengendalikan amarah. Entah itu disebabkan oleh perbedaan pandangan,
etnis, status sosial dan ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya.
Selain itu, perbedaan di atas
juga berpotensi menimbulkan rasa benci antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Padahal semua perbedaan ini adalah sunnatullah yang tidak akan hilang
meskipun kita membenci kelompok lain. Allah Swt berfirman, “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal,” (QS al-Hujurat [49]: 13).
Kebencian atau rasa marah yang
timbul akibat perbedaan bisa menimbulkan konflik harizontal jika dua kelompok
yang berbeda, seperti agama dan etnis, tidak bisa menahan dan mengendalikan
amarah serta membuang rasa benci. Jika konflik terjadi, maka yang dirugikan
adalah masyarakat yang bersangkutan, baik materi maupun immateri.
Dengan berpuasa umat Islam
dididik untuk mampu menahan atau mengendalikan rasa marah dan menghindari
perbuatan lainnya yang menyakiti orang lain.
Dalam hadits lain Rasulullah Saw
bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan
kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia
meninggalkan makan dan minumnya,” (HR Jama’ah kecuali Muslim).
Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami, jika umat Islam bisa melaksanakan
ibadah puasa dengan sempurna, tidak hanya meninggalkan makan dan minum, tapi
juga perbuatan dan perkataan yang tidak layak, semua ini adalah landasan utama
dalam menciptakan masyarakat yang sepi dari konflik.
Jika pengendalian amarah dan
menghindarkan diri dari segala perbuatan dan ucapan yang merugikan atau
menyakiti orang lain dilaksanakan tidak hanya di bulan Ramadhan saja, tapi
terus berlanjut pada bulan-bulan selanjutnya, maka akan tercipta tatanan
masyarakat yang aman dan tenteram sehingga baldatun thayyibatun warabbun ghafur
(masyarakat adil dan makmur di bawah ampunan Allah Swt) bisa tercapai. Wallahu
a’lamu bis shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo dikoment