Sederhana
adalah kata sifat yang bermakna “bersahaja” atau “tidak berlebih-lebihan”.
Orang yang hidup sederhana adalah orang yang hidup dengan bersahaja dan tidak
berlebih-lebihan. Ketika kekurangan, orang yang sederhana tidak akan
menghalalkan segala cara, termasuk menyusahkan dirinya, untuk memperoleh harta
agar dihormati oleh orang lain. Begitu pula, ketika mempunyai harta lebih,
orang sederhana tidak akan tergoda untuk bermewah-mewahan, menumpuk hartanya di
rumah sendiri, tidak pula memanjakan diri dengan segala fasilitas serba lux.
Kesederhanaan
adalah kisah langka di era modern. Buktinya, banyak dari kita yang selalu
merasa “tidak cukup”, meski hidup sudah tercukupi. Bahkan karena tidak bisanya
hidup sederhana, ada orang yang sedang dihukum pun nekad membawa kemewahan ke
dalam penjara. Mungkin baginya, tidak sah hidup di zaman kini tanpa melekatkan
berbagai atribut kemewahan dalam dirinya.
Di era yang
menjadikan benda sebagai pujaan, kesederhanaan adalah nilai usang. Hidup
sederhana dianggap tidak populer dan tidak mempopulerkan. Kalau pun banyak orang
sederhana, itu karena tidak ada pilihan lain kecuali hidup “seadanya”. Orang
yang hidup terjepit nasib dan pemiskinan.
Padahal Islam
adalah agama yang menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana. Islam mengajarkan
agar membelanjakan harta tidak secara berlebih-lebihan dan tidak pula kikir “dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS
Al-Furqaan 25: 67).”
Di sisi lain, Islam juga mengecam mereka
menumpuk-numpuk harta dengan akan memasukan ke neraka Huthamah “1. kecelakaanlah bagi Setiap
pengumpat lagi pencela, 2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, 3. Dia
mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, 4. sekali-kali tidak!
Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. 5. dan tahukah
kamu apa Huthamah itu? 6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, 7.
yang (membakar) sampai ke hati. 8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas
mereka, 9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS.
Al-Humazah: 1-9).”
Sementara mereka yang sukanya menimbun emas dan
perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, diancam dengan siksaan pedih
dan menyakitkan “Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,(QS. At-Taubah:34).”
Bukan tanpa
alasan Islam menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana. Pola hidup sederhana
sejatinya akan membawa ketenangan hidup. Pola hidup sederhana juga bisa
menjauhkan diri dari gaya hidup boros dan berlebih-lebihan (konsumtivisme). Orang yang
sederhana, hidupnya tidak diburu oleh nafsu, pikiran selalu kurang, dan oleh
berbagai ambisi yang membuat jiwa semakin kering.
Secara
sosiologis, pola hidup sederhana dapat merekatkan semua kelompok dalam
masyarakat. Orang kaya yang sederhana, akan dengan mudah membangun relasi
dengan orang miskin. Begitu pula seorang pejabat yang sederhana bisa
berinteraksi dengan rakyatnya tanpa ada jurang pemisah.
Selain itu,
kesederhanaan bisa juga menimbulkan empati satu sama lain. Seorang pemimpin
yang sederhana akan dicintai oleh rakyatnya. Sementara pemimpin yang gemar
menumpuk harta akan dibenci bahkan ditumbangkan oleh rakyatnya. Ingatlah para
pemimpin dunia yang dijatuhkan oleh rakyatnya sendiri karena pemimpin itu gemar
menumpuk harta, termasuk dengan jalan korupsi.
Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW
Kesederhanaan
juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. M. Quraish Shihab dengan mengesankan
menggambarkan kesederhanaan Nabi dengan menulis bahwa harta beliau yang paling
mewah hanyalah sepasang alas kaki berwarna kuning yang merupakan hadiah dari Nigus dari Abbisinia. Beliau
tinggal di pondok kecil beratapkan jerami yang tingginya dapat dijangkau oleh
seorang remaja. Sekat-sekat kamarnya terbuat dari batang pohon yang dilekatkan
dengan lumpur bercampur kapur. Beliau sendiri yang menyalakan api, mengepel
lantai, memerah susu, dan menjahit alas kakinya yang putus. Santapannya yang
paling mewah dan jarang dinikmatinya adalah madu, susu, dan lengan kambing (M.
Quraish Shihab: 1994).
Begitu
sederhananya Nabi Muhammad SAW, meskipun sudah menguasai seluruh Jazirah Arab,
tetap tidak tergoda dengan kemewahan dan kekuasaan duniawi. Padahal, jika saja
Nabi mau, keinginan apa pun, sebagai penguasa waktu itu, akan dipenuhi. Namun,
Nabi bukanlah sosok yang gemar memamerkan harta, bukan pula manusia yang siap
angkuh berdiri di tengah kekuasaannya. Beliau adalah sosok sederhana yang
justru sangat populer tatkala dirinya tidak berambisi untuk dipopulerkan.
Sepanjang
hayatnya, Nabi Muhammad SAW adalah orang yang konsisten pada pola hidup yang
sederhana. Ketika beliau wafat, tidak banyak harta yang ditinggalkannya. Amru
bin Harith meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika wafat tidak meninggalkan
dinar, dirham, hamba sahaya lelaki atau perempuan, dan tiada sesuatu apa pun,
kecuali keledai yang putih yang biasa dikendarainya dan sebidang tanah yang
disedekahkan untuk kepentingan orang rantau (HR. Bukhari).
Berbanding
terbalik dengan para pemimpin kita yang seolah terus merasa kekurangan. Meski
hidup sudah lebih dari cukup, masih minta naik gaji. Meski belum bisa dijadikan
teladan oleh rakyatnya, sudah minta fasilitas nomor wahid. Meski belum
bisa bekerja secara maksimal, tetap ingin merencanakan gedung baru yang lebih
besar dan mewah. Selain itu, banyak pula pemimpin yang setelah menjabat
ditemukan limpahan nominal uang di rekeningnya. Ada pula yang menjadi orang
nomor satu di negeri ini, tatkala lengser dari jabatannya, hartanya berlimpah,
bahkan ada yang menganggapnya tidak akan habis “tujuh turunan”.
Pemujaan
terhadap hidup mewah, glamour, dan selalu merasa kurang adalah cerminan
hidup yang jauh dari praktik Nabi. Hidup yang demikian menempatkan benda
sebagai dewa. Seolah ketenangan dan kebahagian hidup tergantung pada banyaknya
harta. Prestasi kemanusiaan hanya ditentukan fasilitas mewah. Padahal, Nabi
Muhammad SAW telah membuktikan bahwa dengan hidup sederhana kemajuan bidang sosial
maupun politik bisa diraih. Pun, kesederhanaan hidup tidak lantas harga diri
beliau turun. Tidak pula pengaruh beliau menyusut. Jikalau ada lembaga survei
waktu itu, akan terbukti bahwa kesederhanaan beliau tidak pernah menjadi
variabel yang membuat angka popularitas Nabi menurun. Sebaliknya, beliau
semakin dikenal karena banyak orang kagum atas kesederhanaannya.
Tapi, dasar
manusia itu seperti seekor keledai (kata seorang penulis), setelah diberitahu
dan dicambuk pun, sering tidak bergeming. Ketika diperingatkan, termasuk
dianjurkan untuk hidup sederhana, banyak manusia masih saja asyik mengikuti
hawa nafsunya, hidup glamour dan tidak terkendali.
Dengan tulisan
ini, kita bisa memandang hidup dengan penuh kesederhanaan. Semoga!
sederhana aja, yang penting cukup, cukup punya mobil 5, rumah 3, tanah luas dll, hehehehehe
BalasHapus