(bahasa Arab: بهذم, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
Bermadzhab adalah mengikuti hasil istinbath (penggalian) hukum dari ulama mujtahid. Dan secara khusus yang dimaksud bermadzhab di sini adalah mengikuti hasil istinbath hukum dari salah satu Empat Madzhab, yaitu Madzhab Chanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Chambali
B. Mengapa Bermadzhab
Tidak ada alasan pada zaman sekarang untuk menolak bertaqlid (mengikuti) kepada para Imam Empat Madzhab, karena tidak dimungkinkannya setiap manusia mengambil hukum-hukum agama secara langlsung dari sumbernya, yani Al Quran dan Hadits. Demikian ini disebabkan tidak dapat terpenuhinya segala persyaratan ijtihad, seperti menguasai ilmu Al Quran, Hadits, Nahwu Lughat, Tashrif, dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama serta metode dalam mengambil hukum dari sumbernya (Ushul Fiqh).
Ada sebagian golongan yang menyatakan bahwa bermadzhab hukumnya haram dan dilarang. Mereka menyatakan harus menggali hukum sendiri dari Al Quran dan Sunnah. Semua itu beralasan dengan berpijak pada larangan yang disampaikan oleh Imam-imam madzhab empat yaitu Abu Chanifah, as-Syafi’i, Malik dan Chambali. Bahkan kelompok ini mengatakan bahwa orang-orang yang bermadzhab sama dengan ta’addud as-syari’ah (penggandaan syari’at). Apakah betul tuduhan mereka?, jawaban pertanyaan itu akan diuraikan dalam bab khusus tentang ijtihad dan taqlid pada bab berikutnya.
C. Kenapa Terbatas Empat Madzhab
Sebenarnya para Imam Mujtahid tidak hanya terbatas pada Empat Madzhab. Di luar Empat Madhab juga banyak para Imam yang telah mencapai tingkatan Mujtahid, seperti Imam Sufyan al-Tasuri, Hasan al-Bashri, Ishaq bin Ruhawaih, Dawud al-Dhahiri dan lain-lain yang masih tergolong Ahlussunnah Wal Jamaah. Inilah yang diungkapkan oleh Imam Qahir bin thahir al-Tamimi dalam kitab Al-Farqu Baina al-Firaq.
Namun karena para pengikutnya tidak ada yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran-pemikirannya, maka seiring dengan berlalunya waktu, satu persatu musnah ditelan zaman. Oleh karena itulah maka Syaikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Tuchfatu al-Murid Syarhu Jawhari al-Tauhid dengan tegas melarang mengikuti Madzhab selain dari Empat Madzhab tersebut.
Berbeda dengan pengikut Empat Madzhab ini, yang selalu terus menyebarkan dan mengembangkan pemikiran pemikiran Imam pendiri madzhabnya, sehingga pendapat Imam pendiri madzhab tersebut dapat terkodivikasi (tethimpun) dengan baik, yang akhirnya validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat tersebut tidak diragukan Iagi, dan terhindar dari kemungkinan pemalsuan terhadap pendapat dan pemikiran Imam pendiri madzhab. Disamping itu, Empat Madzhab ini telah teruji keshahihannya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematis (tersusun) dengan baik, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara llmiyah.
Para pengikut Empat Madzhab juga menulis beberapa kitab yang menguraikan dan menjabarkan pemikiran Imam Madzhab dengan sanad (mata rantai) yang terus bersambung kepada pendiri Madzhab.
Syaih Abdurrahman al-Hadrami dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin memberikan keterangan, Imam Qaffal secara tegas menyatakan bahwa hanya mengikuti Empat Madzhab dan tidak boleh mengikuti Madzhab yang lain adalah kesepakatan ulama, meskipun untuk dipakai sendiri, terlebih dalam hal memberikan fatwa dan menjatuhkan hukum.
D. Ulama-ulama besar yang bertaqlid Madzhab
Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani menjadi mujtahid kecuali hanya kira-kira 130 orang. Sedang yang lain hanya menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijthad sendiri. Pada zaman Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in pun tidak banyak yang sampai pada derajat Mujtahid, paling banyak hanya sekitar 10 orang.
Seluruh Ulama tidak ada yang meragukan lagi dengan keilmuan yang dimiliki oleh Imam Ghozali, Imam Bukhori seorang ahli hadits yang terkenal dengan karangannya Shahih Bikhori, Imam Nawawi. Beliau-beliau ini tidak berani menyatakan diri sebagai seorang Mujtahid Mutlak , bahkan beliau ini masih mengatakan taqli kepada Imam Syafi’i.
Imam Rofi’I seorang Ulama abad VII H, berkata: “orang-orang tamaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang”, Imam Ghozali mengatakan dalam abad VI: “sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Mutlak”.
Berkata Imam Ibnu Daqiqi’id pada abad VII H: “tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mijtahid”, berkata Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad IV H: “Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid.
Perlu diketahui, bahwa Ulama-ulama yang berpendapat di atas semuanya bermadzhab Syafi’i. Beliau-beliau berselisih tentang ada tidaknya Imam Mujtahid yang baru. Namun tidak melarang seorang untuk menjadi Mujtahid. Hanya melihat kenyataan kemampuan keilmuan pada zaman itu sangat tidak memungkinkan untuk menjadi seorang Mujtahid. Jika demikian, bagaiman dengan zaman sekarang?, Wallahu ‘Alam Bis Sowab.
diambil dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo dikoment